Bihun dan Kapitalisme Mutakhir


Baru-baru ini, media sosial diramaikan oleh berita beredarnya jajanan bihun kemasan. Jika dilihat dari isinya, tidak jauh berbeda dengan jajanan “Mie Gemez” yang pernah saya konsumsi sewaktu kecil dulu. Jajanan ringan berbentuk mie kriting yang siap santap tanpa direbus terlebih dahulu. Namun, ada yang lain dari jajanan ini sehingga ramai diperbincangkan orang. Jajanan ini diberi nama ‘Bihun Kekinian’, yang disingkat menjadi “BIKINI”. Selain akronimnya yang cukup kontroversial, desain kemasannya pun ramai diperbincangkan publik. Lihat saja, pada bungkus bagian depan terpampang animasi yang tidak pantas untuk dikonsumsi anak kecil. Belum lagi tagline-nya yang terkesan cukup nakal, “Remas aku...”, yang maknanya pun ambigu; dikaitkan dengan bihunnya atau ‘gambar pada kemasan’ (?).


Kemasan Snack BIKINI

Fenomena ini mengundang tanggapan dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat umum, lembaga perlindungan anak, hingga Kapolda Jabar pun memberikan sikap dikarenakan tempat produksi jajanan tersebut (sebagaimana tercantum pada kemasan) berada di Bandung, wilayah kerjanya. Bahkan, Wakil Ketua Komisi II DPR Sodiq Mujahid, mengatakan bahwa ini adalah bentuk pemanfaatan demokrasi yang kebablasan (Republika, 05/08). Keseluruhannya memberikan sikap ‘ketidak-setujuan’ atas bentuk ‘kreativitas’ yang salah arah ini.

Apa yang melatar belakangi strategi yang diusung oleh produsen dari Bihun Kekinian ini ? Adalah kebudayaan kapitalisme global yang telah mengkonstruksi sebuah realitas sosial baru. Dalam kapitalisme, sebagaimana yang dicetuskan oleh Adam Smith (dalam Piliang, 2004) mengenai pasar bebas meniscayakan persaingan bebas. sebab persaingan bebaslah yang membuat kapitalisme itu berjalan. Setiap orang harus menanamkan di dalam dirinya motif mencari keuntungan dan mengumpulkan kekayaan (kepemilikan pribadi), sebab kekayaan itu perlu untuk kesuksesan usaha. Akan tetapi, dewasa ini kapitalisme berkembang menuju titik ekstrem yang bahkan tak terbayangkan oleh Karl Marx dalam kritiknya terhadap sistem kapitalisme. Kapitalisme global sudah menjadi Kapitalisme Mutkahir.

Kapitalisme mutakhir, telah melampaui pandangan Adam Smith tentang pasar bebas. Menurut Adam Smith, meskipun pasar bebas mensarati persaingan bebas namun setiap orang harus menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi (motif persaingan, keuntungan, dan pengumpulan kekayaan) dengan panggilan hati nuraninya akan kebaikan dan perbuatan mulia. Pandangan inilah yang dikritik oleh Yasraf (2004) karena hanya bersifat utopis semata. Bila persaingan bebas dianjurkan, misalnya, apakah caranya juga bebas ? Apakah kita dapat menggunakan setiap strategi, segala taktik, dan semua trik persaingan ? Bagaimana kita berhadapan dengan trik-trik persaingan, lewat iklan, lewat bujuk rayu, lewat iming-iming, lewat erotisme, lewat komodifikasi tubuh yang sarat dengan persoalan-persoalan sosial ? Cukup tegarkah nurani para kapitalis dalam membendung cara-cara persaingan yang justru telah berperan besar dalam menciptakan dekadensi moral dan kematian sosial ?

Kapitalisme mutakhir telah melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/tukar, atau yang disebut oleh Jean Francois Lyotard sebagai Ekonomi Libido. Kapital memanfaatkan gairah yang tersimpan dalam diri setiap konsumen tanpa takut akan tabu dan adat. Kebudayaan kapitalisme mutakhir seperti inilah yang bahkan tidak terbayangkan oleh Marx yang lebih mengkritik Kapitalisme dari relasi produksinya, relasi antara pemilik modal (kaum borjuis), para buruh (proletar), dengan alat-alat produksinya. Kapitalisme telah jauh bergerak ke arah semiotika komiditi. Bihun itu biasa saja, sudah banyak yang menjualnya di pasaran. Untuk membuatnya berbeda demi meningkatkan penjualan dan keuntungan maka batas-batas moral harus dilewati, hasrat harus digenjot. Sensualitas lah jawabannya. Gambar yang tak pantas bagi budaya timur telah ditampilkan sebagai komoditas.

Dampak dari citraan seksualitas yang diciptakan salah satunya adalah hancurnya batas-batas sosial. Anak-anak (yang bisa jadi merupakan target penjualan produk jajanan BIKINI) yang terpaparkan oleh media-media yang menampilkan seksualitas (rahasia yang sebelumnya dijaga oleh para orang tua dari anaknya), maka dunia anak-anak secara sosiologis tidak bisa dibedakan dari dunia orang dewasa. Batas sosiologis antara keduanya telah lenyap. Anak-anak sebagai suatu kelompok sosiologis telah lenyap. Kita lihat akhir-akhir ini  banyak anak SD atau SMP telah “menjalin kasih” (baca: berpacaran) dengan teman sebayanya, yang sepantasnya hanya dilakukan oleh pasangan yang telah terikat janji pernikahan. Mereka menjadi konsumen bisu yang terus menerus dicekoki oleh kapital dengan tanda yang mereka pun tak pahami sepenuhnya.

....

Terlepas dari itu semua, dan bagian terpentingnya adalah pendapat saya tentang jajanan BIKINI ini. Dengar-dengar jajanan BIKINI ini di banderol seharga Rp 15.000 per bungkusnya. Belum lagi biaya tambahan untuk ongkos kirimnya, karena memang produk ini dijual secara online. Walah, kalau saya, dengan duit lima belas ribu mending buat beli Indomie, bisa dapat 7 bungkus. Atau untuk beli nasi kucing, bisa dapat 10 bungkus. Atau... saya belikan Mie teksek plus Es Kapal yang terkenal di THR Sriwedari, itupun masih kembali lima ribu rupiah.

Es Kapal THR Sriwedari

Yahya Aditama
Surakarta, 03 Dzulkaidah 1437 H (06 Agustus 2016 M)


0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Followers